Serikat Guru Kritik Asesmen Nasional Berbasis Komputer
Di Post Oleh: Admin Tanggal: 12/10/2021 Di Baca189 kali

Jakarta - Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mengkritisi Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK). Menurutnya, masih banyak yang merasa bahwa ANBK sama seperti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).
"Publik masih bingung antara UNBK dengan ANBK. Ingatan publik lebih pada ANBK sama dengan UNBK. Jadi ada kekhawatiran akan menjadi beban peserta didik, padahal tidak demikian," kata Heru melalui keterangan tertulis, Sabtu (11/9/2021).
Heru menuturkan permasalahan klasik muncul Ketika pelaksanaan Asesmen Nasional (AN) ini diseragamkan dengan Moda Full Online dan Semi Online serta Berbasis Komputer. Menurutnya, permasalahan infrastruktur dan jaringan serta kesiapan peserta didik dalam mengelola komputer menjadi kendala pelaksanaan ANBK bagi sekolah di daerah.

"Masih ditambah lagi situasi pandemi COVID-19 yang meniadakan pembelajaran tatap muka (PTM) patut dipertanyakan. Apalagi untuk di tingkat pendidikan dasar dan/atau sekolah yang berada di wilayah terpencil atau blankspot, maka ANBK sulit dilaksanakan," ujarnya
Heru khawatir, apabila ANBK dipaksakan, data untuk menentukan level mutu pendidikan di Indonesia tidak valid. Terlebih, kata Heru, ANKB dijadikan sebagai dasar penilaian pendidikan Indonesia.

"Apabila ANBK dipaksakan saat ini, FSGI khawatir data yang akan diperoleh tidak cukup valid untuk memvonis level mutu pendidikan Indonesia. Apalagi pelaksanaan ANBK saat ini akan dijadikan baseline pendidikan Indonesia. Apakah jika data yang diperoleh hasilnya sangat rendah kemudian Kemendikbud merasa mudah untuk meningkatkan di tahun berikutnya?" ucapnya.
Heru menjelaskan masih ada permasalahan lain terkait pelaksanaan ANBK. Permasalahan itu adalah sekolah harus melaksanakan PTM dan melewati seleksi prokes ketat untuk bisa melaksanakan ANBK.
"Polemik muncul ketika keharusan sudah melaksanakan PTM sebagai syarat ANBK ini diterapkan di DKI Jakarta. Sekolah-sekolah di Jakarta harus menghadapi seleksi prokes dengan keharusan mengikuti pelatihan blended learning sebagai indikator kesiapan PTM," ujarnya.

Menurut Heru, seleksi kesiapan prokes COVID-19 penting dan perlu. Tetapi, kalau hanya dilakukan melalui formulir yang diisi online tanpa melakukan pengecekan di lapangan atau tanpa dilakukan cek factual, tentu saja tidak akan valid. Yang membuat Heru heran adalah ketika hasil seleksi prokes sekolah harus digabungkan dengan hasil pelatihan guru-guru tentang kesiapan PTM yang dilakukan melalui daring berbasis modul.
"Dalam hal ini, FSGI berpendapat Dinas Pendidikan DKI terkesan mengada-ada dalam melakukan persiapan PTM terbatas untuk sekolah-sekolah di DKI Jakarta," tambahnya.
Lebih lanjut Heru menyampaikan ada beberapa hal lain yang perlu dipertanyakan. Salah satunya ketika Dinas Pendidikan DKI telah menyerahkan proses pelatihan kesiapan PTM kepada pihak eksternal, dan diberi ruang untuk menentukan kelulusan sekolah dalam kesiapan PTM.

Hal ini patut dipertanyakan karena alasan pemilihan lembaga eksternal bahwa mereka berpengalaman tentu saja tidak berdasar, karena yang memiliki pengalaman tentu saja hanya sekolah formal yang selama ini bergelut dengan pandemi dan telah melayani siswa dengan berbagai permasalahannya," pungkasnya.
 

Top